Menteri Sosial Tri Rismaharini dua hari lalu melapor ke Bareskrim Polri terkait dugaan penyelewengan hak Keluarga Penerima Manfaat (KPM) oleh oknum pendamping Program Keluarga Harapan (PKH). "Saya sudah berkomunikasi dengan Bareskrim Polri supaya cepat menangani oknum pendamping PKH dan laporannya sudah 1 pekan lalu."
Risma mengatakan oknum pendamping PKH tersebut bisa dipidana karena perbuatannya merugikan para KPM yang seharusnya menerima bantuan sosial (bansos). Pelaku juga bakal diberhentikan Kemensos jika terbukti melakukan penyelewengan.
Pendamping PKH berinisial P yang direkrut pada tahun 2016 dengan wilayah tugas di Kabupaten Malang, Jawa Timur, diduga telah melakukan penyelewengan terhadap bantuan untuk KPM.
Ia diduga memanipulasi 32 data KPM PKH yang dilakukan saat proses validasi data pada tahun 2017. Sehingga ke‑32 KPM tersebut tidak mengetahui mereka merupakan peserta PKH.
Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2021 KKS disimpan dan setiap tahap penyaluran ditarik oleh P dan dananya digunakan untuk kepentingan pribadi. Untuk menghilangkan jejak penyimpangan dan barang bukti, P pun membakar 32 KKS yang dikuasainya dengan nilai kerugian berkisar ratusan juta rupiah.
Kita melihat, penyaluran bantuan sosial secara konvensional atau dalam bentuk lainnya memang sangat potensial penyelewengan. Apalagi, “Pada saat pandemi Covid melanda, masalahnya adalah database masyarakat yang berhak menerima bansos tidak ada atau kalaupun ada pola verifikasi dan validasinya relatif tidak berjalan. Sehingga transfer via rekening pun tidak dilakukan dan kembali lagi ke cara tradisional dengan pembagian kantong sembako yang sangat rentan terhadap penyelewengan," kata pengamat sosial.
Artinya, di masa pandemi ini bisa jadi penyelewengan bantuan sosial lebih parah dari masa-masa sebelum pandemi melanda negeri ini. Sebelum pandemi Covid, mekanisme penyaluran bansos sudah menggunakan mekanisme transfer dana ke penerima manfaat secara langsung, khususnya PKH. Mekanisme penyaluran melalui perbankan dinilai terbukti sulit untuk celah terjadinya peluang penyimpangan atau korupsi. Hal itu lantaran mekanisme pencatatan transaksi perbankan diketahui sulit untuk diselewengkan.
Mekanisme konvensional tak lagi dapat digunakan dengan adanya potensi penyelewengan. Sebab, penyaluran secara konvensional pastinya melalui pengadaan pihak ketiga. Alhasil tentu ada 'negosiasi' dari proses tersebut. "Inilah yang menjadi celah lebar penyelewengan, seperti yang terjadi di Kemensos," imbuhnya.
Bagi bansos di daerah yang tidak menggunakan pihak ketiga, potensi penyelewengan justru semakin besar dengan skema penyaluran konvensional. "Karena modus ‘potongan berjenjang’ yang terjadi. Jika alokasi bansos per keluarga misalnya Rp 200.000, pada saat sudah jadi paket sembako bisa jadi nilainya sudah jauh di bawah Rp 200.000, dengan berbagai alasan teknis yang dibuat‑buat," kata pengamat tadi.
Kita sependapat jika penyaluran bantuan sosial dalam bentuk barang sembako dilupakan saja. Sebab, penyaluran bansos semacam ini sangat rawan penyelewengan. Dan sudah terbukti selama berpuluh-puluh tahum di hampir semua instansi pemerintah yang terlibat penyaluran bansos, termasuk di Aceh.
Akan tetapi, sejauh ini para ahli di Indonesia mengaku belum menemukan model bansos yang sepenuhnya bebas dari potensi penyelewengan. "Namun, harus digarisbawahi bahwa peluang penyelewengan bantuan sosial kepada masyarakat miskin itu akan semakin besar ketika sistemnya tidak dipersiapkan secara lebih baik serta diiringi dengan pengawasan yang ketat. Apalagi bila tidak didukung data penerima bansos yang baik."
Makanya, pemerintah disarankan supaya “belajar” dari kasus‑kasus penyalahgunaan sebelumnya. Pemerintah perlu membangun sistem penyaluran bansos yang sudah sepenuhnya memanfaatkan teknologi informasi digital, serta didukung dengan data penerima yang lengkap. Dari sana nantinya pengawasan dan pengecekan penyaluran bansos dapat dilakukan oleh semua pihak, sekaligus mengurangi minat dan peluang penyelewengan.
SUMBER ; https://aceh.tribunnews.com/
Posting Komentar untuk "Menyorot Bansos yang Selalu Diselewengkan"