PENDEKATAN ILMIAH NON POSITIVISTIK TEORI FALSIFIKASI KARL RAIMUND POPPER



BAB I

PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
     Di Indonesia telah tumbuh berpikir yang berakar pada subjektivisme yang ditarik dari gagasan Popper. Argumentasinya banyak didasarkan pada perasaan dan rasa keyakinan pribadi. Orientasi pada otoritas sering mewarnai cara seseorang mendekati masalah, dan juga dari perkataan yang sering terlontar tampaknya kurang pemahaman tentang kritik sebagai elemen dasar dalam mekanisme pertumbuhan pengetahuan ( teori kebijaksanaan politis ). Dalam latar belakang dunia pemikiran di Indonesia epistemology  Karl R. Popper dengan teori problem-solving yang serba objektif, rasional, realisitis, dan imajinatif, relefan untuk dibicarakan.
Ciri utama Popper dalam teori problem-solving yaitu pendekatan objektivis untuk membela objektivitas dan rasionalitas pemahaman manusia dan evolusioner dinamis untuk membela sifat dinamis ilmu dan pengetahuan manusia pada umumnya. Gagasan Popper tentang cara belajar dari keslahan  yang berarti kemampuan memanfaatkan bahwa manusia bisa salah (fallible), teori problem-solving erat kaitannya dengan gagasan metafisis yang dikembangkan Popper pada usia tuanya terutama tentang dunia pengetahuan objektif.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Biografi Karl Raimund Popper
2.      Pengertian Falsifikasi
3.      Teori Falsifikasi menurut Karl Raimund Popper
C.    TUJUAN PENULISAN
1.      Untuk mengetahui pengertian dari falsifikasi
2.      Untuk mengetahui teori falsifiksi menurut Karl Raimund Popper
3.      Untuk mengetahui sejarah singkat atau biografi Karl Raimund Popper
BAB II

PEMBAHASAN
A.    BIOGRAFI KARL RAIMUND POPPER
Popper memiliki nama lengkap Karl Raimund Popper. Ia dilahirkan di Wina pada tanggal 26 Juli 1902. Ayahnya seorang pengacara bernama Simon Siegmund Carl Popper yang memiliki perhatian dan sangat berminat pada filsafat, terutama dalam hal problem social.Dalam bidang pendidikan, Popper memiliki latar belakang keilmuan yang cukup variatif dan terkesan menjadi seorang avonturir dan anti terhadap kemapanan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa indikasi yaitu; Pertama, pada usia 16 tahun Popper meninggalkan sekolahnya (Realgumnasium) karena pelajaran-pelajaran yang disajikan sangat membosankan. Kedua, menjadi pendengar bebas pada universitas Wina dan empat tahun kemudian ia diterima sebagai mahasiswa di universitas tersebut. Ketiga, Popper memilih mata kuliah matematika dan fisika teoritis. Dalam pandangannya dengan matematika ia akan dapat mengetahui standar-standar kebenaran.
Ketika menjadi mahasiswa, Popper bukan saja mempelajari paham-paham sosialisme, tetapi juga komunisme, bahkan pernah mengidentikan dirinya sebagai pengikut paham komunis. Tetapi dengan berbagai peristiwa sosial dan politik yang terjadi di Austria, menyebabkan ia kecewa dan menjadi seorang yang anti komunis dan marxisme.
Dalam kemajuan semacam itu, Popper terinspirasi oleh ucapan Socrates �Saya tahu bahwa saya tidak tahu�.Inspirasi inilah yang kemudian membangkitkan obsesi untuk membangun pengetahuan ilmiah yang kritis. Dengan semangat keilmuannya itu, maka Popper bukan saja berhasil memiliki ijazah untuk mengajar matematika, fisika, dan kimia, tetapi berhasil pula memperoleh gelar �doctor filsafat� pada tahun 1928 dengan desertasi tentang Zur Methodenfrage der Denkpsychologie (Masalah metodologi dalam psikologi pemikiran).
Setelah masa itu, perkenalannya Popper dengan Albert Einstein dan Karl Buhler mampu membuka cakrawala baru bagi dirinya untuk membangun teori kritis.Tema-tema sentral yang menjadi bahan diskusi diantaranya masalah indeterminisme, problem-problem operasionalisme, positivisme dengan induksi dan verifikasinya.Bersamaan dengan itu, Popper berusaha merumuskan teori-teori kritisnya baik mengenai deduksi dengan objektifismenya, maupun demarkasi dengan falsifikasinya.
Upayanya itu bukan saja dikumandangkan di Wina, tetapi juga di Inggris antara tahun 1935-1936, kemudian di Selandia Baru (tahun 1936-1945), dan di Amerika, yaitu mulai tahun 1950 ketika Popper memberikan serangkaian kuliah di Harvad.
Dalam dan melalui dunia keilmuan yang digelutinya, Popper banyak menghasilkan karya-karya ilmiah yang menjadi wacana bagi para ilmuwan dunia. Di antara karya tulisnya yang terpenting antara lain : Logic der Forschung (logika penelitian) yang terbit tahun 1934. Buku ini baru diterbitkan dalam bahasa inggris pada tahun 1959 dengan judul The Logic of Scientific Discovery.Ketika di Selandia Baru Popper menulis The Phoproverty of Historicism dan The Open Society of Enemies yang diterbitkan dalam bentuk buku pada tahun 1957.
Karya Popper dalam bentuk kumpulan karangan yaitu Conjectures and Refulation; The Growt of Scientific Knowledge (1963). Buku ini berisi tentang problematika pertumbuhan pengetahuan ilmiah dan metodologi yang menyertainya. Kemudian buku lain yang juga berisi kumpulan karangan yaitu Objectife Knowledge; An Evolutionary Approach terbit pada tahun 1972. Dalam buku ini dijabarkan pula teorinya tentang �Dunia 3�, dunia ojektif, yaitu dunia yang secara historis merupakan asal ilmu pengetahuan.

B.     PENGERTIAN FALSIFIKASI
Kata falsifikasi berasal dari bahasa latin,yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Ini dilakukan dengan data yang diperoleh melalui eksperimen.
Falsifikasi merupakan metode yang digunakan oleh Popper untuk menolak gagasan dari lingkaran Wina tentang metode verifikasi induktif. Alasan penolakan Popper ini, karena dalam rangkah membedakan ilmu yang bermakna dan tidak bermakna masih menjunjung tinggi induksi. Beberapa kritik yang dikemukakan Popper terhadap prinsip verifikasi: Pertama, prinsip verifikasi tidak pernah mungkin untuk menyatakan kebenaran hukum-hukum umum. Menurut Popper, hukum-hukum umum dan ilmu pengetahuan tidak pernah dapat diverifikasi. Karena itu, seluruh ilmu pengetahuan alam (yang sebagian besar terdiri dari hukum-hukum umum tidak bermakna, sama seperti metafisika); kedua, sejarah membuktikan bahwa ilmu pengetahuan juga lahir dari pandangan-pandangan metafisis. Karena itu Popper menegaskan bahwa suatu ucapan metafisis bukan saja dapat bermakna tetapi dapat benar juga, walaupun baru menjadi ilmiah setelah diuji; ketiga, untuk menyelidiki bermakna atau tidaknya suatu ucapan atau teori, lebih dulu harus kita mengerti ucapan atau teori itu. Solusi yang diberikan oleh Popper terhadap problem induksi ternyata mengarahkan perhatiannya secara lebih serius kepada problem demarkasi, atau problem batas antara pengetahuan yang ilmiah dan pengetahuan yang bukan ilmiah. Untuk itu pada bagain ini, penulis terlebih dahulu mengangkat problem demarkasi ini sebagai titik tolak dari falsifikasi Popper.
Untuk menghindari kesalahan kaum positivis aka harus dipilih suatu kriterium yang memperbolehkan orang mengakui bahwa didaerah ilmu empiris  ada pernyataan yang tidak dapat diverifikasikan. Ilmu empiris  atau ilmiah hanya bisa disebut sebagai sisitem bila dapat diuji dengan pengalaman, pertimbangan ini menyarankan bahwa ilmu empiris bukan diverifiabilitaskan tetapi difalsifiabilitasikan. Dengan kata lain system ilmiah tidak perlu dituntut dapat dipilih sekali  selamanya dalam arti positif, tetapi bentuk logisnya laah yang harus dituntut sehingga system itu dapat ditentukan dengan tes-tes empiris dalam arti negative.
Misalnya dalam sebuah pernyataan �besok mungkin akan hujan atau mungkin tidak hujan� pernyataan tersebut tidak dianggap empiris karena tidak dapat disangkal atau difalsifikasikan. Berbeda dengan pernyataan �besok akan hujan� itu merupakan empiris karena dapat diajukan sangkalan melalui pengalaman yang akan terjadi.
Dalam arti logis penempatan empiris dapat difalsifikasikan meskipun tidak ada verifikasi, ini menujukan bahwa hukum-hukum ilmiah dapat diuji meski tidak ada pembuktian.
1.        Sifat Logis Falsifikasi
Aliran konvensionalis mempertanyakan apakah kriterium filsibilitas mampu diterapkan ke dalam system teoritis. Popper menanggapi, kriterium filsifiabilitas sebagai pemisah antara ilmu empiris dengan ilmu non-empiris. Menurut kaum konvensionalis ilmu alam teoritis bukanlah suatu gambaran alam tetapi hanya konstruksi logis. Menurut Popper sebuah hipotesis bantuan tidak mengurangi tingkat filsifiabilitas system yang terkait tetapi menambah kefilsifiabilitasnya. Jadi jika terdapat teori yang bisa di falsifikasikan dan bisa diberikan hipotesa baru dalam teori tersebut maka tingkat ke falsifikasi teori itu meningkat. Dengan kata lain teori tersebut dapat disangkal.
Pada sebuah percobaan orang menyebutkan suatu toeri sebagai empiris jika pernyataan - pernyataan tunggal dapat ditarik dari teori tersebut, jika pernyataan tunggal gagal maka ada pernyataan - pernyataan tunggal lainnya yang menggantikan variabel-variabel pernyataan tunggal yang pertama, pernyataan tunggal lain berfungsi sebagai kondisi inisial. Dimisalkan terdapat pernyataan �setiap kejadian memiliki sebab� dan �suatu bencana terjadi disini�, maka dapat ditarik kesimpulan bencana ini memiliki sebab. Dari ilustrasi itu kita didorong untuk memperbolehkan menarik lebih banyak pernyataan-pernyataan tunggal empiris dari pada menarik pernyataan kondisi inisial. Suatu teori harus disebut empiris atau falsifiable jika secara jelas dalam pernyataan tersebut tidak kosong dari kriteria berpotensi untuk difasifikasikan dan berkriteria tidak ada kontradiksinya.
2.      Falsifiabilitas dan falsifikasi
Terdapat perbedaan falsifiabilitas dan falsifikasi, falsifiabilitas merupakan kriteria untuk sifat empiris, sedang falsifikasi ada aturan khusus untuk menentukan bagaimana kondisi sebuah system dianggap telah mengalami falsifikasi. Falsifikasi hanya diterima jika pernyataan-pernyataan dasar yang kontradiksi terhadap teori yang diungkapkan. Teori yang sudah mengalami falsifikasi bila ditemukan efek yang bisa diulang untuk menyangkal teori tersebut.

C.    TEORI FALSIFIKASI MENURUT KARL RAIMUND POPPER
Karl Raimund Popper lahir di Wina pada tanggal 21 Juli 1902 dari keluarga
Yahudi Protestan. Ayahnya, Dr. Simon S.C. Popper, seorang pengacara yang meminati filsafat dan masalah social. Karl Popper adalah salah satu tokoh yang mengkritik konsepsi induksi.
Kritik Popper terhadap epistemologi logis, merupakan pintu masuk ke dalam epistemologinya. Adapun beberapa gagasan Popper sehubungan dengan penolakannya terhadap gagasan lingkaran Wina adalah:
a.       Popper menentang prinsip demarkasi antara ilmu yang bermakna dan tidak bermakna berdasarkan metode verifikatif induktif. Dia mengusulkan suatu demarkasi lain, yaitu demarkasi antara ilmu yang ilmiah dan tidak ilmiah berdasarkan tolak ukur pengujian deduktif.
b.      Metode verifikasi induktif diganti dengan metode falsifikasi deduktif. Namun tidak seperti Hume yang membuang induksi atau Kant yang mendudukkan induksi pada tataran sintesis a priori, Popper justru meletakkan penalaran induktif pada tataran awal, pra ilmiah dalam rangkah pengujian deduktif.
Menurut Popper, ciri khas ilmu pengetahuan adalah falsifiable, artinya harus dapat dibuktikan salah melalui proses falsifikasi. Dengan falsifikasi, ilmu pengetahuan mengalami prosess pengurangan kesalahan (error elimination). Proses falsifikasi inilah yang mengantar ilmu pengetahuan tersebut mendekatai kebenaran, namun tetap memiliki cirri falsifiable.
Dengan cara falsifikasilah, hukum-hukum ilmiah berlaku: bahwa bukannya dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Dengan cara yang sama, ilmu pengetahuan berkembang maju. Bila suatu hipotesa telah dibuktikan salah, maka hipotesa itu ditinggalkan dan diganti dengan hipotesa baru. Kemungkinan lain adalah bahwa hanya salah satu unsure hipotesa yang dibuktikan salah, sedangkan inti hipotesa lain dapat dipertahankan, maka unsur tadi ditinggalkan dan digantikan dengan unsur baru. Dengan demikian, hipotesa terus disempurnakan, walaupun tetap terbuka untuk dibuktikan salah.
Popper membangun logikanya sendiri dalam studi ilmiah, yang terdiri dari dua prinsip utama yaitu testability dan falsifiability. Dengan prinsip yang pertama, Popper menyatakan bahwa sebuah pernyataan ilmiah harus bisa diuji kebenarannya (testable) melalui suatu metode empiris. Pengujian ini dilakukan untuk melihat kemungkinan apakah pernyataan tersebut bisa dibuktikan kesalahannya atau tidak (falsifiable).
Dua prinsip ini, yang selanjutnya akan disebut dengan falsifikasi (falsification),  digunakan Popper sebagai garis pembatas (demarkasi) yang akan membedakan science dari pseudeo-science. Inilah yang membedakan Popper dari para pemikir Positivisme Logis yang bermarkas di Wina, di mana verifikasi (verification) yang mereka ciptakan dijadikan sebagai penentu berarti atau tidaknya sebuah pernyataan atau teori.
Falsifikasi dirancang oleh Popper untuk menjadi solusi bagi masalah demarkasi. Bagi Popper, demarkasi yang dibuat oleh kelompok Postivisme telah membatasi ilmu pengetahuan hanya pada yang ilmiah saja, sementara ilmu-ilmu social (khususnya agama dan mitos-mitos) dianggap sebagai tidak ilmiah, dan demikian tidak bermakna. Dengan falsifikasi Popper memberikan batasan yang jelas antara pengetahuan ilmiah (science) dan yang semi-ilmiah (pseudo-science). Tidak seperti Positivisme, Popper masih memperhitungkan pseudo-sciences sebagai salah satu sumber pengetahuan dan tetap bermakna dalam lingkaran studi masing-masing. Oleh Karena itu, pemosisian verifikasi vis a vis falsifikasi yang telah dilakukan angota Lingkaran Wina telah membuat kontribusi Popper menjadi tidak bermakna. �It was not I who introduced them into the theory of meaning.�
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Istilah Falsifikasi berasal dari bahasa latin, yakni falsus (palsu, tidak benar) dan facere (membuat). Falsifikasi adalah cara memverifikasikan asumsi teoritis (hipotesis, teori) dengan menggunakan  pelawannya. Istilah verifikasi berasal dari bahasa latin, Verus (benar), facere (membuat). Verifikasi merupakan suatu usaha konfirmasi untuk memastikan suatu pernyataan (proposisi) dengan menggunakan metode empirik.
Falsifikasi Popper mengajarkan bahwa tidak ada yang kebal untuk dikritisi dalam ilmu pengetahuan.Semuanya harus diasumsikan bahwa hasil intepretasi masa lalu sampai batasan-batasan tertentu menyimpan kesalahan-kesalahan yang layak untuk dikritisi dan diperbaiki.Generasi sekarang diharapkan akan mampu melakukan kajian ulang atas apa yang dibicarakan dalam Al Qur�an, jika memang warisan klasik itu difalsifikasi menemukan kejanggalan-kejanggalan sehingga umat Islam tidak hanya jalan di tempat ketika bangsa barat mampu menunjukkan peradaban yang lebih maju tetapi generasi muslim mampu bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan.

Posting Komentar untuk "PENDEKATAN ILMIAH NON POSITIVISTIK TEORI FALSIFIKASI KARL RAIMUND POPPER"