Pembiayaan IKN Nusantara Belum Revolusioner


GHIRAHBELAJAR.COM, Oleh Rahulloh Ayatulloh

Ketika mau memindahkan ibu kota negara (IKN), kita melihat pilihan cara pembiayaannya masih belum revolusioner. Sebab, masih mengandalkan pihak kedua atau swasta yang kemungkinan akan menggunakan dana asing, teknologi asing, dan sumber daya asing yang akan dibangun dengan sistem GOT. Lalu, Pemerintah RI menyewa sampai beberapa tahun ke depan baru nanti diambil haknya oleh negara.

Negara kira-kira mungkin akan menyewa dengan angka Rp 50 triliun-Rp 100 triliun setiap tahunnya atau selama 20 tahun ke depan. Bisa-bisa hampir Rp 2.000 triliun. Anggaran itu akan dicicil melalui APBN. Banyak yang geleng-geleng kepala karena melihat angka yang besar menjadi beban APBN tahun-tahun berikutnya. Itu sudah menjadi keputusan dan harus dipikirkan bagaimana ke depannya. Harus ada solusi lain tanpa menggunakan strategi yang memberatkan APBN.

Kita melihat sejarah pada tahun 1964, mata dunia tertuju pada Tokyo yang menyelenggarakan Olimpiade. Bisa dikatakan semua sarana modern terbaik di jamannya ada di Tokyo, ada di Jepang untuk Olimpiade tersebut. Apa yang membuat banyak negara dan banyak orang terkejut? Karena Jepang itu rata dengan tanah, kalah Perang Dunia II.

Tetapi, kurang dari 20 tahun, mendadak menjadi kekuatan terbesar di Asia. Lalu, apa yang membuat kurang dari 20 tahun Jepang bisa menjadi negara nomor satu lagi di Asia? Padahal, rata tanah pada tahun 1945.

Sebelumnya, pada tahun 1918, Jerman juga rata tanah kalah perang dunia pertama. Namun, tahun 1936 Jerman menjadi negara superpower. Tetapi, kita tetap tidak mau memakai cara Jerman untuk menjadi negara superpower.

Sekarang, kita meniru cara Cina, bukan impor barang Cina yaitu cara Cina tahun 1989 Cina mulai memakai strategi New Economic Model. Ketika tahun 2008 Olimpiade Beijing dunia terkejut karena dalam 20 tahun Cina mendadak menjadi negara superpower.

Jepang pada tahun 1945 rata dengan tanah. Pada tahun 1964 menjadi kekuatan ekonomi dan puncaknya 30 tahun setelah itu Jepang tak tertahankan hingga tahun 1990-an. Yang kita tahu saat ini adalah Cina yang mulai mengepakkan sayapnya menyusul dengan cepat.

Strategi yang digunakan Jerman, Cina, dan Jepang bukan menggunakan cara IMF. Jepang memakai infrastruktur dinamis yang namanya Sinkansen.

Setelah Perang Dunia II, Jepang membangun jaringan rel kereta api di seluruh Jepang berbarengan dengan industri kereta api. Kita semua tahu berapa panjang rel kereta api di Jepang, panjangnya adalah dua kali panjang rel kereta api di seluruh Amerika atau panjangnya rel kereta api Jepang adalah 10 kali panjangnya rel kereta api di seluruh Prancis.

Untuk membangun infrastruktur, utamakan pembangunan infrastruktur dinamis baru setelahnya infrastruktur statis atau bisa dilakukan secara bersamaan. Semua infrastruktur dinamis dan statis Jepang 100 persen adalah produk buatan anak negeri. Mesinnya, teknologinya, bahan bakunya.

Lalu keuangannya dicetak dari THN AIR. Jepang bukan bangun rel kereta api yang isinya barang impor, bukan membangun jalan tol yang mobilnya impor, demikian juga Amerika dan Cina, mereka membangun infrastruktur tersebut isinya adalah barang lokal mereka, membuat produk lokal mereka.

Kita membangun infrastruktur statis tapi isinya barang impor, artinya kita membangun infrastruktur negara orang. Indonesia secara fisik membangun, tetapi "social cost accounting" tidak dihitung.

Isi dari infrastruktur statisnya yaitu infrastruktur dinamis milik negara orang lain. Bensinnya impor, mobil impor, mengambil barang impor, sama saja membangun infrastruktur GBHN negara lain. Indonesia ada baiknya menggunakan cara Jepang, Cina, Jerman, dan Amerika.

Jika menjadi kenyataan dan IKN pindah dengan disahkannya UU IKN ke Penajam Paser Utara, biayanya terlalu mahal, tidak efisien, pemborosan, dan tidak berdampak secara ekonomi dalam skala makro ataupun mikro.

Posting Komentar untuk "Pembiayaan IKN Nusantara Belum Revolusioner"