Solusi Bansos Tepat Sasaran

                   



Presiden Jokowi telah memasang target jumlah warga sangat miskin di Indonesia harus menyentuh angka 0% pada 2024. Dan, pemerintah berhasil menurunkan angka kemiskinan menjadi satu digit pada Maret 2018. Namun sayangnya, akibat pandemi Covid-19, capaian fantastis itu tidak mampu bertahan lama. Data rilis Badan Pusat Statistik menunjukkan bahwa angka kemiskinan setelah pandemi kembali menyentuh dua digit di angka 10,14. Naik 1,8 poin dibandingkan dengan angka kemiskinan pada September 2019 sebesar 9,22%.
Sebenarnya angka kemiskinan itu bisa saja lebih tinggi jika pemerintah tidak tanggap mengambil kebijakan yang tepat untuk menahan dampak sosial akibat pandemi. Salah satunya melalui program perlindungan sosial yang menjadi upaya paling krusial untuk menangani dampak pandemi setelah kesehatan.
Melalui program Penanganan Pandemi Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN), pemerintah telah mengalokasikan anggaran perlindungan sosial sebesar Rp 495 triliun pada 2020. Tumbuh 31 persen dibandingkan pada 2019, dan kembali dilanjutkan pada 2021 dengan alokasi anggaran sebesar Rp 110,2 triliun yang terbagi dalam lima program utama seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Bantuan Sosial Tunai (BST) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT) Desa, Kartu Sembako dan Kartu Prakerja.

Namun demikian, penyaluran bantuan sosial (bansos) acap dianggap tidak tepat sasaran hingga pelaku koruptif para pengelolanya. Padahal program bansos bukanlah sebuah hal baru. Bansos telah dikenal sejak pemerintahan Orde Baru dan terus disempurnakan dari waktu ke waktu dengan penambahan alokasi anggaran dan cakupan yang makin meluas. Penyelewengan-penyelewengan yang terjadi ini tentu saja menyebabkan dampak sosial dari penyaluran bansos tidak akan sebesar yang diharapkan.

Selain permasalahan kualitas data penerima, salah satu penyebabnya adalah skema penyaluran bantuan yang masih bersifat konvensional. Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 254/PMK.05/2015 tentang Belanja Bantuan Sosial pada Kementerian/Lembaga, sistem pencairan bansos dilaksanakan dengan 3 model yaitu dari Kas Negara masing-masing langsung ke rekening penerima bansos, ke rekening lembaga non pemerintah, dan ke rekening Bank/Pos Penyalur.
Dari sistem pembayaran tersebut, saya melihat celah permasalahan; pertama, potensi retur yang sangat besar terjadi akibat kesalahan data penerima sebagaimana sering terjadi pada pembayaran bansos secara massal oleh KPPN. Kedua, penarikan uang bansos dengan ATM oleh pihak yang tidak berhak (oknum pendamping). Ketiga, penerima bansos tidak dapat menerima uang sebesar nilai bantuan karena adanya saldo minimal rekening.
Keempat, potensi adanya pungutan liar oleh oknum koruptif. Kelima, panjangnya birokrasi pertanggungjawaban penyaluran bansos, termasuk lemahnya kontrol pertanggungjawaban atas uang yang gagal salur.
Pemerintah sesungguhnya telah melakukan upaya penyempurnaan, di antaranya pembangunan Sistem Konfirmasi Penerima Bantuan Sosial PKH melalui OM-SPAN yang merupakan kolaborasi antara Kemensos dengan Kemenkeu c.q DJPb. Sistem ini menjadi jembatan konfirmasi kevalidan data rekening antara Kemensos dengan bank Himbara sebelum pengajuan SPM ke KPPN.
Dari hasil penggunaan sistem ini, jumlah gagal transfer berkurang secara signifikan dari puluhan ribu KPM menjadi kurang dari 500 KPM saja setiap tahapnya. Namun demikian, skema pembayaran bansos tersebut masih dapat dilakukan penyempurnaan dengan alternatif skema yang lebih sederhana, tanpa mengurangi aspek transparansi dan akuntabilitasnya. Salah satunya adalah penggunaan rekening virtual (virtual account)

Rekening virtual adalah nomor identifikasi pelanggan perusahaan/institusi yang dibuka oleh bank atas permintaan perusahaan/institusi untuk selanjutnya diberikan oleh perusahaan/institusi kepada pelanggannya sebagai nomor rekening tujuan. Rekening virtual sesungguhnya telah berlangsung cukup lama di dunia perbankan dan semakin meningkat seiring dengan perkembangan era digital 4.0.
Kemenkeu c.q DJPb juga telah memanfaatkan rekening virtual untuk merestrukturisasi rekening bendahara pengeluaran. Dengan rekening virtual, eselon I K/L cukup membuka rekening induk saja, sedangkan rekening satker dibuat dalam bentuk rekening virtual yang terkonsolidasi dengan rekening induk masing-masing.
Sistem rekening virtual bendahara tersebut dapat di adopsi untuk keperluan penyaluran bansos. K/L penanggungjawab bansos dari hasil kerjasama dengan bank Himbara, cukup membuat rekening induk penampungan dan meminta bank melakukan pembukaan rekening para penerima manfaat dalam bentuk rekening virtual berbasis data penerima bansos. Data rekening virtual tersebut nantinya digunakan sebagai data bayar pada saat pengajuan SPM ke KPPN.
Setelah pencairan, selanjutnya saldo-saldo rekening virtual tersebut akan terkonsolidasi secara terpusat pada rekening induk secara realtime. Selain itu, bank mitra juga wajib menyediakan sistem dashboard monitoring yang akan digunakan sebagai kontrol atas lalu lintas dana pada rekening virtual penerima

Manfaat yang diperoleh pada skema penyaluran dengan rekening virtual; pertama, potensi retur SP2D sangat kecil disebabkan data rekening virtual dibuat oleh pihak bank mitra. Kedua, transparansi dan akuntabilitas akan lebih terjaga, karena seluruh saldo rekening virtual akan terkonsolidasi pada rekening induk. Ketiga, dana yang ditarik atau gagal salur oleh penerima akan teridentifikasi secara realtime, tanpa mekanisme birokratis yang panjang dan berbelit.

Keempat, dana menganggur pada rekening virtual yang gagal salur dapat segera disetorkan ke kas negara untuk dapat dimanfaatkan secara optimal. Kelima, penerima manfaat dapat menarik uangnya sesuai dengan nominal besaran bansos karena sifat rekening virtual tanpa saldo minimal. Keenam, penerima dapat memanfaatkan kartu debit rekening virtual untuk penarikan uang via ATM atau berfungsi sebagai dompet elektronik.

Ketujuh, bagi Kemenkeu selaku BUN, pemantauan rekening akan jauh lebih mudah, karena cukup memantau rekening induk saja pada dashboard monitoring. Sedangkan bagi Aparat Pengawas Internal Pemerintah (APIP), penggunaan dashboard monitoring dapat memudahkan audit bansos secara berkala

Ke depannya, skema ini dapat dikembangkan dengan pelibatan agen lakupandai yang saat ini telah tersebar hingga ke pelosok Indonesia. Berdasarkan data OJK, jumlah agen lakupandai sampai dengan 2019 telah mencapai 1,14 juta agen. Dengan agen lakupandai, ruang koruptif dapat dipersempit karena para penerima bansos cukup datang ke agen lakupandai, tanpa perlu lagi datang ke kantor perbankan.




sumber : https://news.detik.com/

Posting Komentar untuk "Solusi Bansos Tepat Sasaran"