Membaca indeks kemiskinan di perdesaan selama dua tahun terakhir memunculkan keprihatinan mendalam. Indeks kemiskinan di desa mengalami peningkatan meski pemerintah pusat telah melaksanakan program transfer dana desa (DD) Rp 68 triliun. Setiap desa, dari 74.000 desa di seluruh Indonesia, mendapatkan "guyuran" anggaran minimal Rp 750 juta.
Profil keuangan desa, yakni APBDes, cukup memadai karena desa juga dapat jatah dari pos transfer daerah, yakni alokasi dana desa (ADD) serta dana bagi hasil pendapatan dan retribusi daerah (DBHPRD).
Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara spesifik (baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik bahkan disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah alasan yang absurd dan sulit diuraikan dalam logika akal sehat.
Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi peranti dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Program kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal jika jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan pembangunan jangka menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam format rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes). Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai.
Program prioritas ataupun superprioritas dalam implementasi APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan kemiskinan. Juga kegiatan rutin musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) cenderung dominan oleh kepentingan elite desa yang tidak memiliki perspektif dalam visi penanggulangan kemiskinan.
Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya profil kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan APBDes tidak berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa meningkat 11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.
Alhasil, pemasukan APBDes mayoritas total hampir Rp 1 miliar. Sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri No 113/2014 tentang Pengelolaan Keuangan Desa, penggunaan DD secara khusus ataupun APBDes secara umum, desa bebas menganggarkan kegiatan program yang terkait dengan kepentingan masyarakat desa. Termasuk kepentingan memfasilitasi pengentasan rakyat dari kemiskinan.
Sayangnya, dari hasil review implementasi DD secara spesifik (baca: APBDes), sangat minim desa yang secara serius menggarap program penanggulangan kemiskinan. Hampir 99 persen desa di seluruh Indonesia lebih tertarik membiayai program pembangunan fisik yang mudah dalam perencanaan dan kasatmata dalam pelaksanaan. Program pembangunan fisik bahkan disebutkan sebagai solusi dalam penanggulangan kemiskinan. Sebuah alasan yang absurd dan sulit diuraikan dalam logika akal sehat.
Idealnya, APBDes sebagai matra anggaran untuk membiayai operasional penyelenggaraan pemerintahan desa dan pemberdayaan masyarakat desa didorong untuk jadi peranti dalam program kegiatan penanggulangan kemiskinan. Program kegiatan penanggulangan kemiskinan di desa akan maksimal jika jadi bagian dari program prioritas dalam rancangan pembangunan jangka menengah pedesaan (RPJMDes) atau dalam format rencana kegiatan pembangunan desa (RKPDes). Dengan begitu ada kewajiban APBDes menopang kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam alokasi anggaran yang memadai.
Program prioritas ataupun superprioritas dalam implementasi APBDes cenderung mengabaikan itikad pemberdayaan masyarakat yang di dalamnya terdapat inisiasi penanggulangan kemiskinan. Juga kegiatan rutin musyawarah pembangunan desa (Musrenbangdes) cenderung dominan oleh kepentingan elite desa yang tidak memiliki perspektif dalam visi penanggulangan kemiskinan.
Hasilnya sudah bisa diprediksi: semakin meningkatnya profil kucuran DD yang sekaligus membesarnya volume pendapatan APBDes tidak berkontribusi secara signifikan dalam penanggulangan kemiskinan di pedesaan. Dalam data Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, angka kemiskinan di desa meningkat 11,6 persen. Lebih dari 20 juta penduduk yang masuk kategori miskin, 70 persen merupakan warga perdesaan.
Anggaran untuk si miskin
Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis, mengingat desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu menyediakan segala aktivitas pekerjaan dan penambahan penghasilan yang memadai bagi warga desa. Demikian pula dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi penangulangan kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan memunculkan standar keberhasilan.
Kemiskinan di desa merupakan sesuatu yang ironis, mengingat desa adalah zona produksi pangan yang seharusnya mampu menyediakan segala aktivitas pekerjaan dan penambahan penghasilan yang memadai bagi warga desa. Demikian pula dengan formula APBDes yang besar, fasilitasi penangulangan kemiskinan oleh pemerintah desa idealnya bisa dilaksanakan dan memunculkan standar keberhasilan.
Indikator kemiskinan dalam definisi BPS dan Bank Dunia sebenarnya bisa dijadikan rujukan bagi desa untuk dicarikan resolusi melalui program/kegiatan yang masuk dalam APBDes. Indikator kemiskinan, seperti kriteria rumah tidak layak huni, bisa dijadikan basis keprograman rehabilitasi rumah warga miskin.
Minimnya pendapatan keluarga miskin bisa diselesaikan dengan program pemberian permodalan usaha melalui dukungan anggaran bagi badan usaha milik desa (BUMDes) melalui unit simpan- pinjam. Ketakmampuan warga miskin membayar anggaran kesehatan yang mahal bisa difasilitasi desa melalui subsidi premi BPJS yang dianggarkan dalam APBDes.
Desa ataupun pemerintah desa sudah saatnya mengembangkan paradigma anggaran yang progresif, semisal anggaran desa untuk si miskin. Paradigma itu meletakkan APBDes sebagai peranti untuk menjalankan program penanggulangan kemiskinan dalam perspektif pemberdayaan atau pengembangan usaha mikro perdesaan.
Profil APBDes mayoritas desa tahun 2017 semakin kuat karena volume DD meningkat jadi Rp 60 triliun dalam APBN. Setiap desa minimal akan mendapat jatah Rp 800 juta dan sangat memadai untuk digunakan bagi program prioritas penanggulangan kemiskinan di desa. Jangan sampai akhir 2017 persentase kemiskinan desa justru meningkat saat APBDes semakin gemuk oleh "guyuran" anggaran dari pemerintah pusat dan kabupaten.
Trisno Yulianto - Alumnus FISIP Undip, Koordinator Forum Kajian dan Transparansi Anggaran. (Kompas.com)
Posting Komentar untuk "APB Desa dan Kemiskinan"