KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL



PENDAHULUAN
Bangsa Indonesia adalah bangsa yang religius, sikap hidup religious ini telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Sejak kepercayaan nenek moyang bangsa-bangsa berupa kepercayaan animism dan dinamisme berkembangdi masyarakat Indonesia, sampai pada akhirnya masuk agama Hindu Dan Budha ke Indonesia di iringi masuknya agama Islam ke Indonesia, terakhir hingga masuknya agama Kristen, membuktikan bahwa masyarakat  Indonesia adalah masyarakat yang beragama. Fakta-fakta sejarah juga mendukung kenyatan ini. Dengan demikian tidak salah apabila dikatakan bahwa agama telah merupakan darah daging bagi masyarakat Indonesia. Karena itulah para pendiri bangsa Indonesia sewaktu merumuskan dasar negara mereka sepakat untuk mencantumkan azas �Ketuhanan Yang Maha Esa� sebagai salah satu dari azas pancasila.  Dan kita sebagai manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cinta tanah air menjadikan falsafah pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan bermasyarakat.  Sepakat bahwa pendidikan agama (khususnya Islam) harus kita sukseskan dalam semua jenis, jenjang dan jalurnya. Sesuai dan sejalan dengan aspirasi bangsa. Permasalahan yang perlu kita bahas adalah bagaimana cara pelaksanaanya agar pendidikan agama kita lebih berguna dalam mewujudkan generasi bangsa yang berkualitas unggul, lahiriah dan bathiniyah. Berkemampuan tinggi dalam kehidupan aqliyah dan aqidah serta berbobot dalam perilaku amaliyah dan muamalah. Sehinnga survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya. Ketahanan mental, spiritual dan fisik berkat pribadi agama kita benar-benar berfungsi efektif bagi kehidupan generasi bangsa dari waktu-ke waktu. Idealitas tersebut baru dapat terlaksana dengan tepat sasaran jika kita mampu meletakkan strategi dasar yang berwawasan jauh kemasa depan kehidupan bangsa, kehidupan yang dihadapkan kepada kemajuan ilmu dan tekhnologi canggih yang semakain sekularisrtik arahnya.


1.      PENDIDIKAN NASIONAL
Berdasarkan pada undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang system Pendidikan Nasional Bab I pasal 1, bahwa yang dimaksud dengan pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan undang-undang dasar Republik Indonesia Tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia, dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman. Adapun rumusan tentang Pendidikan Nasional dapat pemakalah kemukakan pendapat Ki Hajar Dewantara, seorang tokoh pendidikan  Nasional di Indonesia serta dianggkat oleh pemerintah sebagai Bapak pendidikan, menyatakan sebagai berikut:� Pendidikan nasional adalah pendidikan yang beralaskan garis hidup dari bangsanya dan ditujukan untuk keperluan peri-kehidupan yang dapat mengangkat derajat Negara dan rakyatnya, agara dapat bekerja bersama-sama dengan lain-lain bangsa untuk kemuliaan segenap manusia disekuruh dunia�. Dengan demikian nampak erat sekali hubungan anatara seorang nasionalisme dengan keyakinan hidup kebangsaan. Hal ini akan dihayati bagi orang yang menyatakan diri dengan hidup bagsanya dan merasa terikat dengan benang sutera kecintaan yang halus dan suci dengan bangsanya.[1]
Karakteristik pendidikan nasional :
1.      Dari segi dasar, pendidikan Indonesia berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
2.      Dari segi fungsinya, pendidikan di Indonesia diharapkan dapat mengembangkan kemampuan serta meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam rangka upaya mewujudkan tujuan nasional.
3.      Dari segi tujuan, pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab ke masyarakat dan kebangsaan.
4.      Dari kesempatan yang diberikan, dalam pendidikan nasional disebutkan bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan
5.      Dari segi penyelenggaraan, pendidikan dilaksanakan melalui dua jalur, yaitu jalur pendidikan sekolah dan faktor pendidikan luar sekolah
6.      Dari segi tenaga kependdikan, sistem pendidikan nasional menyebutkan bahwa kependidikan meliputi tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, pemiliki, pengawas, peneliti dan pengembang di bidang penddikan, pustakawan, laboran dan teknisi sumber belajar
7.      Dari segi kurikulum, sistem pendidikan nasional mengatakan bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuai dengan lingkungan.[2]

2.      PENDIDIKAN AGAMA
Persepsi keilmuan kita saat ini tentang arti pendidikan, mengandung implikasi yang lebih komprehensif ketimbang arti pengajaran, pendidikan biasa didefinisikan sebagai �usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran atau latihan bagi peranya dimasa yang akan datang�. Jelas di sini, pendidikan mencakup proses kegiatan pengajaran di samping bimbingan dan latihan. Lebih diorientasikan ke masa depan yang mana fenomenanya tak lain adalah penerimaan betapa pentingnya penguasaan dan pemanfaatan serta pengendalian kemajuan iptek bagi pembagunan bangsa.[3]
Sedangkan tentang batasan Pendidikan agama lebih ditekankan pada proses internalisasi dan transformasi nilai-nilai keagamaan kedalam diri anak didik. Mengingat pendidikan agama pada hakikatnya bertujuan membentuk pribadi yang beriman dan bertaqwa sebagai elan vitalnya kehidupan lahiriah dan bathiniyah manusia Indonesia seutuhnya. Jika dengan pengertian tersebut, proses kependidikan agama menanamkan atau mempribadikan tata nilai keagamaan. Dalam hal ini Islam yang mengacu kepada keimanan dan ketaqwaan (sebagai pondasi dasar yang tak tampak atau rahasia) yang berdaya dorong memotivasi proses kegiatan perilaku yang tampak, yang mewujud dalam akhlaqul karimah di bidang kehidupan termasuk iptek. Di sisi lain dan antara kedua sisi tersebut senantiasa saling berinteraksi.[4]
 RELEVANSI KEBIJAKAN TERHADAP EKSISTENSI PENDIDIKAN ISLAM
Relevansi dari kebijakan pemerintah  terhadap Pendidikan Islam dapat dilihat dari dikeluarkannya Tap MPRS No. 2 Tahun 1960 ditegaskan bahwa madrasah adalah lembaga pendidikan otonom di bawah pengawasan menteri agama. Selain itu dalam tap MPRS No. 27 tahun 1966 dinyatakan bahwa agama merupakan salah satu unsure mutlak dalam pencapaian tujuan nasional. Berdasarkan ketentuan ini maka Departemen Agama menyelenggarakan Pendidikan madrasah tidak saja bersifat keagamaan dan umum, tetapi bersifat kejuruan. Dengan keputusan presiden no. 34 tahun 1972 tentang tanggung jawab fungsional pendidikan dan latihan. Isi keputusan ini pada intinya menyangkut tiga hal yaitu:
         Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan umum dan kejuruan;
         Menteri Tenaga Kerja bertanggung jawab atas pembinaan latihan keahlan dan kejuruan tenaga kerja bukan pegawai negeri;
         Ketua Lembaga Administrasi Negara bertugas dan bertanggung jawab atas pembinaan pendidikan dan latihan khusus untuk pegawai negeri.[5]
Kemudian dikeluarkan Inpres No. 15 tahun 1974, penyelenggaraan pendidikan umum dan kejuruan menjadi sepenuhnya berada di bawah tanggung jawab Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Secara implisit ketentuan ini mengharuskan diserahkannya penyelenggaraan  pendidikan madrasah yang sudah menggunakan kurikulum nasional kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dari pernyataan di atas, Drs. Akmal Hawi, M.Ag menyimpulkan bahwa kebijakan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1972 yang kemudian diperkuat dengan Inpres No. 15 tahun 1974 menggambarkan ketegangan yang cukup keras dalam hubungan madrasah tidak saja diasingkan dengan pendidikan nasional, tetapi terdapat indikasi kuat akan dihapuskan. Dengan kata lain, Kepres dan Inpres di atas dipandang oleh sebagan umat Islam sebagai suatu manuver untuk mengabaikan peran dan manfaat madrasah sebagai suatu lembaga pendidikan Islam (Akmal Hawi, 2005: 120). Hal ini menimbulkan reaksi di kalangan umat Islam terhadap kebijakan pemerintah tersebut yang dianggap merugikan bagi kelangsungan pendidikan Islam, kemudian reaksi umat Islam ini mendapat perhatian oleh Musyawarah Kerja Majelis Pertimbangan Pendidikan dan Pengajaran Agama. Lenbaga ini memandang bahwa madrasah merupakan suatu lembaga pendidikan Islam. Oleh sebab itu, yang tepat untuk menyelenggarakannya adalah Departemen Agama sebab Menteri Agama yang lebih tahu tentang kebutuhan pendidikan agama bukan Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Wirosyukarto, 1996: 88). Dengan memperhatikan aspirasi umat Islam di atas, maka dengan ini pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri mengenai peningkatan mutu pendidikan pada madrasah. Ketiga menteri itu adalah menteri pendidikan, menteri dalam negeri, dan menteri agama. Tujuan lahirnya SKB Tiga Menteri adalah untuk mengatasi kekhawatiran umat Islam akan dihapuskannya system pendidikan madrasah. SKB Tiga Menteri ini dikeluarkan pada sidang Kabinet pada tanggal 26 Nopember 1974.
Dengan dikeluarkannya SKB Tiga Menteri dapat dipandang sebagai bentuk pengakuan yang lebih nyata terhadap eksistensi madarasah dan sekaligus merupakan langkah strategis untuk menuju tahapan integrasi madrasah ke dalam system pendidikan keagamaan atau lembaga penyelenggaraan kewajiban belajar, tetapi sudah merupakan lembaga pendidkikan yang menjadikan mata pelajaran agama Islam sebagai mata pelajaran dasar.

KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA
Kajian historis seperti yang diungkapkan terdahulu bahwa pendidikan islam di Indonesia, telah berlangsung sejak masuknya islam ke Indonesia. Pendidikan itu pada tahap awal terlaksana atas adanya kontrak antara pedagang atau mubaligh dengan masyarakat sekitar, bentuknya lebih mengarah kepada pendidikan informal. Setelah berdiri kerajaan-kerajaan islam di Indonesia maka pendidikan islam tersebut berada di bawah tanggung jawab kerajaan islam. Dan pendidikan tidak hanya berlangsung dilanggar-langgar atau masjid, tetapi ada yang dilaksanakan di lembaga pendidikan pesantren.
Masuknya kaum penjajah barat, memisahkan pendidikan islam, dengan pendidikan Barat. Pendidikan Barat berada pada alur dan jalur binaan pemerintah dengan fasilitas yang memadai, sedangkan pendidikan islam terlepas dari tanggung  jawab pemerintah kolonial. Kenyataanya membuat ada dua generasi yang berbeda orientasinya. Pertama, pendidikan islam yang ketika itu dilaksanakan di pesantren orientasinya keakhiratan, kedua, pendidikan Barat orientasinya adalah keduniaan. Sebetulnya perbedaan yang mencolok bukan hanya terletak kepada perbedaan kedua orientasi itu, tetapi lebih dari itu pemerintah kolonial Belanda tidak menempatkan pendidikan Islam sebagai bagian dari perhatian mereka. Tidak memasukkan pendidikan Islam dalam system pendidikan kolonial Belanda, bukan hanya itu bahkan pendidikan agama pun tidak diberikan di sekolah-sekolah pemerintah.[7]

ORIENTASI PELAKSANAN  PENDIDIKAN AGAMA
Dasar pendidikan yang paling utama adalah Pancasila dan UUD 1945, dasar pendidikan ini secara tidak langsung mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses pendidikan nasional yang konsisten dan secara integralistik menuju ke arah pencapaian tujuan akhir. Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas unggul yang berkembang dan tumbuh diatas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan bathiniyah. Jalan menuju tujuan tersebut adalah tidak lain adalah melalui proses pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu hubungan anak didik dengan Tuhannya, dengan masyarakatnya dan dengan alam sekitarnya.
a.       Hubungan dengan Tuhannya menghendaki adanya konsepsi ketuhanan yang telah mapan dan secara pasti dijabarkan  dalam bentuk norma-norma ubudiyah mahdzah yang wajib ditaati oleh anak didik secara syar�i.
b.      Hubungan dengan masyarakatnya memerlukan norma-norma dan aturan-aturan yang mengarahkan proses hubungan antara sesama manusia bersifat lentur dalam konfigurasi rentangan tata nilainya, tapi tidak melanggar atau merusak prinsip-prinsip dasarnya yang absolute, dalam arti tidak cultural relativistic. Seluruh lapangan hidup manusia adalah merupakan arena dimana hubungan social dari interpersonal terjadi sepanjang hayat, termasuk lapangan hidup iptek.
c.       Hubungan dengan alam sekitarnya menuntut adanya kaidah-kaidah yang mengatur dan mengarahkan kegiatan manusia didik dengan bekal ipteknya dalam penggalian, pemanfaatan, dan pengolahan kekayaan yang menyejahterakan kesadaran terhadap bahaya arus balik sanksi alam, akibat pengurasan habis-habisan terhadap kekayaan alam melebihi kapasitas alamiahnya.
MODEL-MODEL DAN METODE DALAM PENDIDIKAN AGAMA
Metode sebagai salah satu sarana penting dalam proses pendidikan agama juga harus dikaji dan dikembangkan sejalan dengan tuntutan perkembangan jiwa anak didik/ remaja agar mampu memungkinkan dirinya dalam arena kompetisi kehidupan modern dimana didalamnya penuh tantangan dan pertentangan nilai-nilai etik�sekularistik dan nilai sosialistik religius atau nilai�nilai relativisme cultural yang berubah-ubah dengan nilai-nilai absolutisme agama yang konstan dan stabil. Metode pendidikan yang hanya menitikberatkan pada kemampuan verbalistik harus diubah menjadi kemampuan menghayati dan mengamalkan nilai-nilai agama yang merentang antara yang paling wajib atau halal sampai kepada hal yang paling terlarang (haram) dalam 5 kategorinya. Metode pendidikan agama yang menggunakan pendekatan kognitif, afektif, dan psikomotorik sendiri yang satu sama lain terpisah berdiri sendiri dalam mengembangkan potensi keagamaan perlu dilakukan modifikasi dengan mengintegrasikan ketiga-tiganya ke dalam satu pola kemampuan mengamalkan dalam perilaku yang mengacu kepada kebutuhan pembangunan masyarakatnya.
Pendidikan Agama selain harus menginternalisasikan dan mentransformasikan nilai-nilai keagamaan yang berpusat pada kemampuan efektif emosional, sehingga sumber kekuatan keimanan dan ketuhanan bermukim di dada (di hati), Pendidikan agama juga harus dapat menggerakkan intelektualitas yang berpusat di dalam rasio( di kepala) sehingga mampu mengembangkan kemampuan kognitif untuk menggali kebenaran adanta Tuhan beserta ajaran-ajarannya dari kandungan ciptaan-Nya yang terjabar dalam fenomena alamiah (kauniah). Dari kedua pusat kemampuan inilah, manusia didik dapat mencapai makrifat kepada Allah Swt dan atas kedua pusat kemampuan tersebut terjadi proses interaktif yang seimbang menuju kea rah terbentuknya perilaku lahiriah yang mengacu kepada orientasi kehidupan yang hasanah dunia ukhrawi.
Metode yang diperlukan untuk mendorong kedua kemampuan tersebut berkembang adalah metode yang bersifat motivatif dan persuasif terhadap minat dan perhatian manusia didik untuk memikirkan (merefleksikan) dan merasakan makna-makna yang terkandung dalam gejala kauniah sebagai ciptaan Allah SWT. Minat dan perhatian tersebut dapat ditumbuhkan melalui proses dialogis antara manusia didik dengan pendidik agama, bukan melalui metode verbalistik (menghafal bahan pelajaran) atau metode pidato, ceramah seperti yang masih dipraktikkan oleh kebanyakan guru agama di dunia Islam sekarang.
Untuk mengembangkan pikiran dan perasaan manusia didik dalam proses kependidikan agama itu, perlu didesain model kurikulum yang dinamis dalam substansi/materi, menggerakkan pendidik dan manusia didik yang secara politik-politiknya dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.              Subtansi / materi pelajaran lebih dipusatkan pada permasalahan kehidupan sosio-kultural masa kini  yang perspektif  ke arah masa depan, yang mendorong minat dan perhatian manusia didik untuk mengkonsepkan tujuan dan nilai-nilainya yang inheren dengan tuntunan Allah.
2.              Posisi pendidikan, harus mampu menciptakan situasi komunitas yang dialogis yang mengandung interdependency antara dirinya dengan manusia didik.
3.              Manusia didik dalam proses belajar-mengajar aktif melakukan komunikasi yang dialogis dengan pendidik, teman sebaya dan alam sekitarnya.
Model kurikulum yang diuraikan secara singkat diatas memang memerlukan formulasi yang kritikal terhadap kurikulum pendidikan agama yang telah ada sekarang yang dilaksanakan berdasarkan pendekatan PPSI yang berorientasi kepada dan efisiensi dan efektifitas belajar mengajar.[10]
A. Hubungan Pendididkan Islam Dengan Sistem Pendiddikan Nasional
            Posisi pendidikan Islam dalam system pendidikan nasional secara normatif dapat dilihat dari perkembangan kebijakan negara terhadap pendidikan Islam, baik itu pendidikan di madrasah dan pondok pesantren, maupun pendidikan agama sebagai bagian kurikulum di sekolah umum. Secara normatif dapat dilihat terjadi pergeseran posisi dan pengakuan terhadap pendidikan Islam yang terus berlangsung sampai saat ini, yaitu dari posisi marjinal dan �kelas dua� pada masa pemerintah colonial sampai mendapatkan pengakuan eksistensi yang samadengan sekolah umum. Persamaan kedudukan madrasah yang diakui pemerintah dalam pelaksanaan wajib belajar dengan sekolah umum negeri memperlihatkan bahwa lembaga pendidikan Islam dipandang dapat memenuhi kewajiban pelaksanaan wajib belajar bagi masyarakat.
            Posisi pesantren, khususnya pesantren salaf yang semata menjalankan kurikulum ilmu keislaman yang belum diakui pemerintah, antara lain karena pesantren salaf lazimnya tidak menerapkan ketentuan pemberian ijazah pada para santri yang telah menyelesaikan pendidikan, berbeda dengan kedudukan madrasah yang telah diakui pemerintah dan menjalankan kurikulum yang ditetapkan pemerintah. Sampai akhir tahun 1990-an masih ada lulusan pesantren, yang karena belum mendapatkan pengakuan pemerintah tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi negeri keagamaan seperti IAIN dan STAIN. Kendala lain dapat berupa tidak diakuinya pendidikan mereka ketika mencari lapangan pekerjaan. Akibatnya, kebanyakan lulusan pesantren seperti ini melanjutkan pendidikannya ke lembaga pendidikan tinggi Islam yang ada di Timur Tengah, dan dalam bidang pekerjaan kebanyakan masuk ke dalam sector informal. Akibat kendala yang dihadapi para lulusan pesantren, terutama pesantren salaf, banyak dari lembaga pendidikan Islam pola pesantren ini yang mengubah pendidikannya ke dalam bentuk madrasah dan menerapakan kurikulumyang ditetapkan pemerintah maupun dari sektor lain. Sebagian dari sistem pesantren salafiah yang masih eksis berada didaerah pedesaan yang dalam hal lapangan penghidupan belum terintegrasi sepenuhnya ke dalam sektor formal modern.
            Secara formal, dilihat dari kontribusi pendidikan Islam dalam proses pendidikan Islam dalam proses mencerdaskan kehidupan bangsa, posisi lembaga pendidikan Islam pada dasarnya diakui sama dengan lembaga pendidikan lain. Pendidikan Islam juga menjalankan misi pendidikan untuk mencerdaskan bangsa. Lembaga pendidikan Islam yang sampai pelosok-pelosok memberikan manfaat yang sangat berarti kepada masyarakat yang tidak mampu menjangkau pendidikan formal disekolah umum. Karena itulah, banyak lembaga pendidikan Islam yang tidak memedulikan pengakuan, karena keyakinan para pengelolanya bahwa pendidikan yang mereka selenggarakan telah ikut berperan dalam proses pendidikan kepada masyarakat agar masyarakat melek huruf dan mempunyai bekal dalam menjalankan hidupnya terutama bekal pengetahuan agama.
            Berkaitan dengan pengakuan masyarakat terhadap lembaga pendidikan Islam, mengingat pendidikan Islamlebih mengutamakan pengetahuan keislaman dan lemah dalam pengetahuan umum terutama yang diarahkan pada penguasaan sains dan teknologi, maka ada segmen masyarakat yang memandang bahwa lembaga pendidikan Islam belum mampu menghasilkan lulusan dengan kualitas yang sama dengan sekolah umum. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa meskipun kurikulum madrasah telah disamakan dengan kurikulum disekolah umum ternyata sedikit sekali dari lulusan madrasah lanjutan yang lolos dalam seleksi penjaringan calon mahasiswa di perguruan tinggi negeri, terutama perguruan tinggi berkualitas seperti UI, ITB, Gadjah Mada, Airlangga, IPB, dan lainnya. Kebanyakan lulusan madrasah melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi agama seperti IAIN< STAIN atau perguruan tinggi swasta. Kenyataan seperti itu memperlihatkan bahwa di satu sisi secara faktual keberadaan lembaga pendidikan Islam dipandang memberikan manfaat dan arti penting bagi masyarakat untuk mendapat pendidikan dan bekal pengetahuan agama bagi kehidupannya tanpa memedulikan apakah pendidikannya mendapatkan pengakuan pemerintah atau pengakuan berbagai segmen masyarakat. Di sisi lain, upaya normative dalam bentuk ketentuan perundangan yang memberikan posisi yang sama antara lembaga pendidikan Islam dengan sekolah umum dengan keharusan menyelenggarakan kurikulum nasional, di dalam kenyataannya belum mampu memberikan dorongan yang cukup kuat untuk mengangkat kualitas lulusan madrasah agar sama dengan kualitas lulusan sekolah umum sehingga mampu bersaing dalam memperebutkan berbagai kesempatan dan resources di bidang sosial dan ekonomiseperti lapangan pekerjaan di berbagai sektor formal modern. Sekolah unggulan Islam yang banyak bermunculan di Indonesia pada akhir abad ke-20 dipandang sebagai jawaban untuk memenuhi keperluan masyarakat muslim, yaitu basis keagamaan yang kuat yang diimbangi dengan penguasaan sains dan tenologi.
Jati Diri Pendidikan Islam
            Jati diri pendidikan Islam berkaitan dengan fungsinya yaitu sebagai emedia transmisi pengetahuan dan pemikiran keislaman baik untuk membentuk pribadi muslim maupun untuk mencetak para ahli ilmu keagamaan, serta untuk melestarikan tradisi keislaman. Dalam menjalankan fungsinya tersebut yang pertama-tama menjadi jati diri pendidikan Islam adalah kurikulum berupa cabang-cabang ilmu keislaman dengan sumbar rujukan utama yaitu Al-Qur�an, wahyu Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad serta penjelasan terhadap pesan wahyu tersebut yang tergambar dari seluruh perkataan, perbuatan, dan pengalaman Muhammad sebagai Rasul Allah yang kemudian menjadi cabang ilmu keislaman sendiri yaitu hadits. Al-qur�an mengandung ayat-ayat qauliyah dan hadits Rasulullah berfungsi memberikan penjelasan terhadap ayat-ayat tersebut. Dari kedua sumber tersebut lahir cabang-cabang ilmu keislaman yang lain seperti fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, tsawuf, ilmu tafsir, dan sebagainya yang kemudian menjadi kurikulum inti dilembaga pendidikan Islam. Jadi yang menjadi jati diri utama pendidikan Islam adalah seluruh cabang ilmu keislaman yang menjadi kurikulum inti di lembaga pendidikan Islam untuk fungsi tafaqquh fiddin.
            Unsur berikutnya dari jati diri pendidikan Islam adalah keberadaan para ulama para ahli agama dan para kyai yang menjadi elemen utama dalam proses transmisi ilmu dan pemikiran keislaman. Para ulama ahli ilmu agama merupakan produk pendidikan Islam yang secara berkesinambungan berperan dalam proses transmisi pemikiran dan reproduksi ulama ahli berikutnya. Kedudukan sebagai ulama diperoleh karena pengakuan atas pengetahuan, keahlian keunggulannya dalam ilmu keislaman yang dimanfaatkannya sebagai rujukan dalam melahirkan pemikiran interpretatif untuk memberikan penjelasan terhadap berbagai permasalahan dalam kehidupan komunitas muslim. Apabila konsep tafaqquh fiddin diperluas pengertiannya meliputi pengetahuan dan pemikiran yang bersumber dari ayat kauniyah, maka pra ahli sains dan ilmu pengetahuan umum dengan landasan keagamaan yang kuat terutama dalam menjalankan ajaran agamanya dapat dikategorikan sebagai unsur jati diri pendidikan Islam.
            Selanjutnya, metode pembelajaran khas yang dilakukan dilingkungan lembaga pendidikan Islam dalam bentuk halaqah yang mengutamakan kontak personal yang intens antara guru dan muurid juga menjadi bagian dari jati diri pendidikan Islam. Dengan kontak personal yang diperkuat dengan legitimasi nilai-nilai ajaran Islam seperti tawadhu, taat atau lainnya memperkuat hubungan guru murid dalam kerangka otoritas guru.
            Perubahan dalam sistem pendidikan Islam mulai dari aspek kelembagaan, kurikulum, metode dan manajemen pendidikan telah mendorong perubahan jati diri pendidikan Islam. Perubahan jati diri pendidikan Islam terutama menyangkut kurikulum inti di madrasah yang semula terfokus pada ilmu keislaman, yang kemudian menjadi muatan lokal dan digeser oleh kurikulum nasional yang diterapkan seperti disekolah umum. Berkurangnya locus penggunaan kitab kuning sebagai sumber rujukan pemikiran keislaman di lembaga pendidikan Islam juga menjadi pertanda memudarnya jati diri pendidikan Islam.
            Perubahan sistem pendidikan dilembaga pendidikan Islam kepada sistem dengan standar seperti yang diterapkan di sekolah umum juga memudarkan unsure lain dari jati diri pendidikan Islam. Kyai atau ulama ahli agama tidak lagi menjadi elemen utama dalam transmisi pengetahuan keislaman dimadrasah karena kedudukannya digantikan oleh guru dengan persyaratan guru di sekolah umum. Demikian pula, perubahan metode pembelajaran dari metode halaqah dengan kontak personal yang intens antara guru murid kepada metode klasikal yang bersifat formal dengan penerapan perencanaan pembelajaran sampai kepada evaluasidan sertifikasi yang diberikan kepada siswa juga telah mengubah jati diri lembaga pendidikan. Dengan seluruh perubahan tersebut lembaga pendidikan Islam tidak lagi berfungsi optimal sebagai media reproduksi ulama. Juga, bobot dan kedalaman pemikiran keislaman yang ditransmisikan melalui lembaga pendidikan Islam menjadi berkurang karena berkurangnya intensitas dalam tradisi pemahaman kitab kuning sebagai wujud kesinambungan pemikiran keislaman dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan kurikulum pendidikan Islam akan menyebabkan berkurangnya kualitas dan kuantitas reproduksi ulama pada lembaga pendidikan Islam. Ulama nusantara generasi awal langsung belajar memperoleh ilmu keislaman dari pusat-pusat studi Islam di Timur Tengah, yang kemudian diteruskan oleh ulama produk pendidikan di pesantren salafiyah. Lembaga pendidikan Islam tidak lagi dapat menjalankan fungsinya secara optimal dalam melahirkan ulama yang betul-betul memiliki pengetahuan yang luas dan keahlian dalam ilmu keislaman.
            Perubahan jati diri pendidikan Islam juga akan melahirkan muslim yang hanya memiliki pengetahuan dari buku keislaman �populer�, bukan yang bersumber dari kitab kuning yang selama ini menjadi sumber rujukan utama pengetahuan dan pemikiran keislaman. Namun demikian, pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum pada semua jenjang pendidikan dapat menjembatani fungsi pendidikan di lembaga pendidikan Islam dengan sekolah umum. Sejalan dengan itu, dengan terintegrasinya pendidikan Islam di bawah satu payung kebijakan dan sistem pendidikan nasional dapat mengurangi dikotomi pemikiran, antara kelompok dan orientasi keislaman yang kuat dengan mereka yang memiliki orientasi sekuler, yang selama ini berpengaruh terhadapa konsistensi kehidupan nasional.



POSISI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DIDALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan proses budaya untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia, dan berlangsung sepanjang hayat, yang dilaksanakan di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan pemerintah. Pendidikan dalam proses mencapai tujuannya perlu dikelola dalam suatu sistem terpadu dan serasi, baik antar sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya; antar daerah dan antar berbagai jenjang dan jenisnya.
Pendidikan yang dilaksanakan baik di sekolah maupun di luar sekolah perlu disesuaikan dengan perkembangan tuntutan pembangunan yang memerlukan berbagai jenis keterampilan dan keahlian disegala bidang serta ditingkatkan mutunya sesuai dengan kemajuan ilmu dan teknologi, seperti di sekolah-sekolah kejuruan dan politeknik. Kerjasama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha perlu dikembangkan sedemikian rupa sehingga produk dunia pendidikan siap pakai oleh dunia usaha karena memenuhi persyaratan keterampilann dan kecakapan yang sejalan dengan tuntutan pembangunan di berbagai bidang.
Sebagai bangsa Indonesia, kita harus mengartikan pendidikan sebaga perjuangan bangsa, yaitu pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 dalam operasionalisasinya, pendidikan nasional dengan sifat dan kekhususan tujuannya, yang dikelola dalam perjenjangan sesuai dengan tahapan atau tingkat perkembangan peserta didik, keluasan dan kedalaman bahan pengajaran. Oleh karena itu pendidikan berlangsung harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional.
Tujuan pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam pasal 4 UUSPN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
B.    Permasalahan
Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003 lahir melalui perdebatan sengit. Bahkan unjuk rasa sampai ancaman disintegrasi ikut mewarnai proses lahirnya Undang-Undang ini. Singkat kata, Undang-Undang ini menjelang kelahirannya ada dalam situasi yang dilematis. Kritik tajam terhadap Undang-Undang ini (saat itu masih RUU) dapat dicatat antara lain berkaitan dengan tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan terlalu ditekankan pada kesalehan beragama dan mengabaikan tujuan pendidikan nasional yang universal dan komprehensif; bersifat diskriminatif dan mengabaikan keberadaan serta kepentingan agama/kepercayaan lain di luar lima agama yang selama ini diakui resmi oleh negara; visi pendidikan agama yang ditawarkan tidak mendorong semangat pluralisme, serta memberi peluang intervensi berlebihan negara pada pelaksanaan pendidikan dan menghalangi partisipasi serta otonomi masyarakat, khususnya lembaga-lembaga pendidikan; campur-tangan pemerintah terlalu besar pada masalah agama; dan kentalnya nuansa politik yang mebidani lahirnya Undang-Undang tersebut. Demikianlah kritik yang mengemuka dari kelompok yang menolak Undang-Undang teresebut.
Sementara pada sisi lain, Undang-Undang ini dimaksudkan sebagai jawaban legal formal terhadap krisis pendidikan yang telah menggurita dalam tubuh bangsa Indonesia. Dalam peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2003, Megawati Sukarno Putri, Presien RI saat itu misalnya menegaskan, kegagalan dan kekurangberhasilan yang terjadi selama ini merupakan cerminan dari kegagalan dalam membentuk mental dan karakter sebagai bangsa yang sedang membangun. Semua itu bagaikan bermuara pada kesimpulan tentang tipisnya etika kita dalam membina kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau disimak ujung dari semua itu seakan-akan berhenti pada ungkapan tentang gagalnya sistem pendidikan nasional kita. Kesadaran akan adanya kegagalan dalam dunia pendidikan ini ditandai dengan tuntutan reformasi yang beriringan dengan tuntutan reformasi pada bidang kehidupan lainnya. Bahkan di kawasan Asia, Indonesia di nilai sebagai negara yang paling ketinggalan (least well-educated country) dalam pendidikan baik dari budgeting, out put, maupun manjerial. Dalam konteks reformasi pendidikan inilah sesungguhnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2003 ini lahir.
Terdapat banyak isu reformasi pendidikan yang diusung saat itu. Sedikitnya isu-isu sentral reformasi pendidikan ini bermuara pada empat hal, yaitu:
1)      pendidikan agama sebagai basis pendidikan nasional,
2)      pemerataan kesempatan pendidikan,
3)      peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan
4)      efisiensi menajemen pendidikan.
Keempat hal pokok ini tidak lagi bisa dijawab oleh Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Namun menjelang disahkannya Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 sebagai pengganti UU Sisdiknas sebelumnya �seperti ramai diberitakan oleh media massa - seluruh persoalan pendidikan yang rumit didiskusikan oleh para pakar pendidikan selama kurang lebih dua tahun itu, semuanya tenggelam ditelan polemik pasal-pasal �yang berpihak� terhadap pendidikan agama. Bahkan polemik ini sudah jauh melampaui diskusi-diskusi kependidikan, tetapi merambah masuk ke dalam ranah politik dan sentimen agama. Dapat dikatakan, bahwa pasal-pasal yang beraroma agama dan bersentuhan dengan pendidikan agama dan pendidikan keagamaan menjadi pusaran konflik yang mengundang debat sengit, unjuk rasa, sampai pada ancaman memisahkan diri dari NKRI.
Hal penting yang dapat disimpulkan dari pelacakan jejak kontroversi seputar UU Sisdiknas di atas adalah pendidikan agama dan pendidikan keagamaan, terutama Islam- telah menjadi konteks tersendiri yang memotivasi, mewarnai dan memperkaya UU Sisdiknas, sekaligus menjadikan Undang-Undang ini dianggap kontroversial. Dari konteks ini lah penulis melihat kajian terhadap posisi pendidikan agama dan pendidikan keagamaan dalam UU Sisdiknas Nomor 2 tahun 2008 memiliki urgensi dan signifikansi yang besar.
A.    Sejarah UU Sisdiknas Dan Pendidikan Agama
Undang-Undang Nomor 54 tahun 1950 sebagai Undang-Undang pertama yang mengatur pendidikan nasional tidak memberikan tempat bagi pendidikan keagamaan. UU pada saat itu pun terhadap pendidikan agama yang saat itu diistilahkan dengan pengajaran agama Undang-Undang ini cenderung bersikap liberal dengan menyerahkan keikutsertaan siswa dalam pengajaran kepada keinginan dan persetujuan orang tua. Namun demikian, Undang-Undang ini mengamanatkan tersusunnya undang-undang tersendiri yang mengatur pendidikan agama ini. Secara sederhana sikap pemerintah saat itu dapat disimpulkan sebagai tidak memihak dan tidak menunjukkan concern yang tinggi terhadap pendidikan agama.
Sejak saat itu, isu pendidikan agama ramai dibicarakan dan diperdebatkan. Akumulasi perdebatan ini memberikan pengaruh terhadap Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 sebagai Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional �jilid dua� yang disahkan pada tanggal 27 Maret 1989. Dalam Undang-Undang yang muncul 39 tahun kemudian dari Undang-Undang pertama ini, pendidikan keagamaan dan pendidikan agama mulai mendapat tempat yang cukup signifikan di bandingkan dengan sebelumnya. Pendidikan keagamaan diakui sebagai salah satu jalur pendidikan sekolah. Pendidikan agama menjadi mata pelajaran wajib dalam setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan.
B.    Jejak Religiusitas UU Sisdiknas 2003
            Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 adalah implementasi dari amanat Undang-Undang Dasar 1945 pada Bab XIII tentang Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 13 yang mengamanatkan bahwa : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
C.    Kedudukan Pendidikan Islam Dalam Sistem Pendidikan Nasional
            Menurut sumbernya pendidikan nasional adalah mata sistem pendidikan yang berdiri di atas landasan dan dijiwai oleh falsafah hidup suatu bangsa dan tujuannya bersifat mengabdi kepada kepentingan dan cita-cita nasional bangsa tersebut. Lebih jelas lagi pendidikan nasional yang terdapat dalam Undang-Undang RI no. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan nasional yakni pendidikan nasional adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui bimbingan, program atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang (Fuad Ikhsan : 114, 115).
            Dalam Undang-undang tentang pendidikan ada dua istilah yakni pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Yang dimaksud pendidikan agama adalah program atau pelaksanaan pendidikan agama di sekolah umum dan perguruan tinggi umum. Sedangkan istilah pendidikan keagamaan adalah program pendidikan agama yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan (Marwan Saridjo, 1996: 62).
            Dalam pembukaan Undang-undang Dasar 45 alenia ke 4 disebutkan bahwa dalam usaha mencerdaskan kehidupan bangsa harus berdasarkan Pancasila sebagai landasan ideal pendidikan. Pada sila ke satu disebutkan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Di situ jelas bahwa pendidikan agama sangat berkaitan sekali dengan pendidikan nasional kita.
            Sebagai suatu sistem,  pendidikan nasional mempunyai tujuan yang jelas seperti yang terdapat dalam Undang-Undang yakni mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti yang luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan sehat jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
            Dalam hal pendidikan, yang bertanggung jawab adalah presiden yang kemudian dibantu oleh menterinya, yakni menteri pendidikan nasional. Seperti disebutkan dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan, ada terdapat dua istilah antara pendidikan agama dengan pendidikan keagamaan. Pendidikan agama yang dilaksanakan di sekolah-sekolah dan perguruan-perguruan tinggi umum dalam implementasinya ternyata selama ini kurang mendapat perhatian dari siswanya ditambah lagi dengan kebijakan pemerintah bahwa mata pelajaran agama diberikan hanya sebanyak 2 jam pelajaran di sekolah, serta 2 SKS di perguruan tinggi umum.
            Pendidikan keagamaan yang bertujuan mempelajari studi agama secara mendalam pun tidak lepas dari problematika. Pendidikan keagamaan ini khusus berada di bawah naungan menteri agama, di mana dalam hal ini diasumsikan mereka mempelajari tentang bidang keagamaan secara spesifik sekaligus sebagai usaha pengembangan lembaga yang menaunginya. Dewasa ini, walaupun pendidikan keagamaan mengalami kemajuan namun ada hal tertentu masih banyak kekurangan. Seperti selama ini pendidikan akhlak sebagai usaha mencetak manusia berbudi luhur, yakni yang berusaha memperbaiki etika moral manusia, masih ditemukan kekurangan efektifitasnya. Sebagai ilustrasi, disinyalir banyak siswa/siswi yang bersekolah dalam lingkungan pendidikan keagamaan negeri atau swasta melakukan penyimpangan-penyimpangan perilaku. Seperti tawuran pelajar dan penyalahgunaan obat-obatan terlarang. Dari sini bisa terlihat bahwa penyimpangan perilaku remaja seperti itu terjadi bukan hanya pada sekolah umum saja, tapi merambah ke sekolah-sekolah agama yang notabene justru banyak diajarkan tentang etika.
            Dari berbagai macam persoalan ternyata pendidikan agama kita masih banyak mengalami persoalan, yang barang tentu menghambat cita-cita bangsa yang selama 63 tahun lebih dicita-citakan oleh bangsa ini. Dari berbagai macam persoalan tentunya kita harus tanggap sebagai warga negara yang mempunyai tanggung jawab moril terhadap kondisi riil pendidikan agama saat ini, di samping persoalan yang mungkin terdeteksi selama ini.
            Persoalan yang utama dalam hal ini adalah sebesar apa pemerintah ingin melakukan perbaikan pendidikan agama kita ini, yang diimplementasikan melalui kebijakan yang akan memperlebar ruang gerak dalam memberikan materi agama secara intens. Hal ini juga tidak lepas dari para intelektual mengkaji secara kritis persoalan yang selama dan akan kita alami melalui kajian-kajian secara ilmiah di antara mereka dan pihak pemerintah. Selain itu yang perlu diperhatikan adalah mempersiapkan tenaga pengajar yang sesuai dengan bidangnya serta mempunyai pemikiran yang progresif menghadapi tantangan zaman. Di mana arus informasi begitu cepat sehingga arus perpaduan budaya global cepat sekali masuk.
            Selain itu pendidikan yang demokratis adalah modal yang tidak boleh ditawar lagi. Pendidikan yang demokratis akan membuat suasana lebih dinamis, dimana perbedaan baik antara agama-agama yang yang berbeda maupun perbedaan pemikiran di dalam suatu agama dilindungi dan dipecahkan melalui pendekatan ilmiah (Darmaningtyas, 1999: 172).
Dalam UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, tersebut dalam Bab VI Jalur, Jenjang dan Jenis Pendidikan pada Bagian ke Sembilan Pendidikan Keagamaan Pasal 30 isinya adalah :
1.      Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2.      Pendidkan keagamaan berfungsi mempersiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memahami dan mengamalkan nilai-nilai ajaran agamnya dan/atau menjadi ahli ilmu agama.
3.      Pendidkan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, informal dan nonformal.
4.      Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera dan bentuk lain yang sejenis.
5.      Ketentuan mengenai pendidikan keagmaan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1,2,3 dan 4 diatur lebih lanjut dengan Peraturan pemerintah.
D.    Kesetaraan dan Keseimbangan
Paradigm baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat.[1]
Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan �plat merah� atau �plat kuning�: semuanya berhak memperoleh dana dari Negara dalam suatu siistem yang terpadu. Dengan demikian juga adanya kesetaraan anatara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan Pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki cirri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). dengan demikian UU sisdiknas telah menempatakan Pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2).
Selain itu, UU Sisdiknas yang dijabarkan dalam UUD 1945, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dalam tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3).
Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu, dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3), dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasa, ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan sebagainya dipadukan menjadi satu.
Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasa 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur dan kemajemukan rakyat (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan.
E.    Menyoal Jalur Pendidikan
Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur: sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, informal (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraanya pun tidak konkrit.[2]
Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14),
Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 16).


Kedudukan Pendidikan Islam Dalam System Pendidikan Nasional
1.1 Latar Belakang Masalah
Sistem pendidikan Islam di Indonesia sudah berkembang sejak abad-abad pertama Islam datang ke Indonesia (sekitar 614 M), sebagaimana di uraikan oleh Thomas Arnold dalam bukunya the Preaching of Islam.
Dalam UU No.20/3002 tentang system pendidikan nasional (sisdiknas) Pasal 3 disebutkan bahwa, pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Menyikapi system pendidikan nasional yang dikembangkan di Indonesia dengan berdasarkan Pancasila. Pendidikan Islam sangat mempengaruhi system tersebut. Terkait hal tersebut akan dijabarkan dalam makalah yang kami susun ini.
Pendidikan Islam sangat sekali mendukung system pendidikan nasional. Hal ini juga secara sepintas bias dilihat dalam tujuan pendidikan yang diterapkan di Indonesia yaitu bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ini dilakukan dalam pendidikan Islam.

1. Pengertian Pendidikan Islam
Pendidikan Islam merupakan suatu upaya yang terstruktur untuk membentuk manusia yang berkarakter sesuai dengan konsekuensinya sebagai seorang muslim.
Istilah pendidikan Islam dapat dipahami dari tiga sudut pandang, Pertama, pendidikan agama Islam, Kedua, pendidikan dalam Islam. Ketiga, pendidikan menurut Islam. Dari kerangka akademik ketiga sudut pandang tersebut harus dibedakan dengan tegas karena ketiganya akan melahirkan disiplin ilmu sendiri-sendiri (Abuddin Nata, 2003:58).
Pendidikan agama Islam menunjukan kepada proses operasional dalam usaha pendidikan ajaran-ajaran agama Islam. Pendekatan ini kelak menjadi bahan kajian dalam �ilmu pendidikan Islam teritis�. Sedangkan pendidikan dalam Islam bersifat sosio-historis dan menjadi bahan kajian dalam �sejarah pendidikan Islam�. Selanjutnya pendidikan menurut Islam bersifat normative dan menjadi bahan kajian dlaam �filsafat pendidikan Islam�. Berkaitan dengan ketiga konsep tersebut maka pendidikan Islam yang dimaksus dalam makalah ini adalah konsep yang pertama.
Ahmad D. Marimba menyatakan pendidikan Islam adalah bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hokum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam atau memiliki kepribadian muslim. Selanjutnya Mushtafa al-Ghulayani berpendapat bahwa pendidikan Islam adalah menanamkan akhlak yang mulia ke dalam jiwa anak dalam masa pertumbuhannya dan menyiraminya dengan petunjuk dan nasihat, sehingga akhlak mereka menjadi salah satu kemampuan yang meresap dalam jiwanya dan mewujudkan keutamaan, kebaikan, dan cinta bekerja bagi kemanfaatan tanah air.
Selanjutnya Azyumardi Azra menjelaskan tentang pengertian pendidikan Islam penekanannnya pada �bimbingan�, bukan �pengajaran� yang mengandung konotasi otoritatif pihak pelaksana pendidikan, katakanlah guru. Dengan bimbingan sesuai dengan ajaran-ajaran Islam maka anak didik mempunyai ruang gerak yang cukuo luas untuk mengaktualisasikan segala potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan penegasan diatas maka dapat dipahami ilmu pendidikan Islam, adalah:
1.      Ilmu pengetahuan praktis karena ilmu ini dilaksankan dalam kegiatan pendidikan dan bertujuan untuk dapat mengetahui ajaran Islam dan mengamalkannya.
2.      Ilmu pengetahuan normative karena ilmu ini berdasarkan pada ajaran Islam, yakni al-Qur�an dan al-Sunnah dan mengarahkan pada manusia untk hidup sesuai dengan ajaran Islam dan memiliki harkat dan budaya yang tinggi.
3.      Ilmu pengetahuan empiris karena obyek dan situasi pendidikannya berada dalam pergaulan manusia yang ada dalam dunia pengamalan.
2. Paradigma Pendidikan Islam
Beberapa paradigma dasar bagi sistem pendidikan dalam kerangka Islam:
1.      Islam meletakkan prinsip kurikulum, strategi, dan tujuan pendidikan berdasarkan aqidah Islam. Pada aspek ini diharapkan terbentuk sumber daya manusia terdidik dengan aqliyah Islamiyah (pola berfikir islami) dan nafsiyah islamiyah (pola sikap yang islami).
2.      Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan keimanan, sehingga melahirkan amal shaleh dan ilmu yang bermanfaat. Prinsip ini mengajarkan pula bahwa di dalam Islam yang menjadi pokok perhatian bukanlah kuantitas, tetapi kualitas pendidikan. Perhatikan bagaimana Al Quran mengungkapkan tentang ahsanu amalan atau amalan shalihan (amal yang terbaik atau amal shaleh).
3.      Pendidikan ditujukan dalam kaitan untuk membangkitkan dan mengarahkan potensi-potensi baik yang ada pada diri setiap manusia selaras dengan fitrah manusia dan meminimalisir aspek yang buruknya.
4.      Keteladanan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu proses pendidikan. Dengan demikian sentral keteladanan yang harus diikuti adalah Rasulullah saw. Dengan demikian Rasulullah saw. merupakan figur sentral keteladanan bagi manusia. Al quran mengungkapkan bahwa �Sungguh pada diri Rasul itu terdapat uswah (teladan) yang terbaik bagi orang-orang yang berharap bertemu dengan Allah dan hari akhirat�.
3. Dasar Pelaksanaan Pendidikan Islam di Indonesia
Pelaksanaan pendidikan agama di Indoenesia memiliki dasar yang cukup kuat, diantaranya dasar yuridis/hokum, religious, social psychologist. Ketiga dasar ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
a. Dasar Yuridis/Hukum
Pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak, dapat dijadikan pegangan dalam melaksanaan pendidikan Islam di lembaga-lembaga pendidikan formal. Adapun dasar yuridis pelaksanaan pendidikan tersebut adalah:
Dasar ideal yakni falsafah Negara yaitu Pancasila, dengan sila pertamanya; Ketuhanan Yang Maha Esa, mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia memilki kepercayaan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan untuk merealisasikan hal tersebut maka diperlukan pendidikan agam, karena tanpa pelaksanaan pendidikan tersebut ketaqwaan kepada Tuhan sulit untuk terwujud.
Di samping itu dasar pelaksanaan pendidikan Islam di Indonesia adalah UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, berbunyi: Negara berdasarkan atasa Ketuhanan Yang Maha Esa dan Negara menjamin kemeredekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya. Oleh karena dalam hal ini pendidikan agama adalah hal yang urgen untuk diselenggarakan dalam rangka melaksanakan ibadah dan kewajiban agama lainnya.
Dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 Tahun 1989, bab I pasal 11 ayat 7, bahwa pendidikan keagamaan merupakan pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat mejalankan peranan yang menuntut penguasa pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan.
b. Dasar Religius
Yang dimaksud dengan dasar religious disini adalah dasar-dasar yang bersumber pada al-Qur�an dan al-Hadist tentang perintah melaksanakan pendidikan yang merupakan perintah dari Allah dan merupakan ibadah kepada-Nya. Diantaranya tertera dalam surat al-Nahl ayat 125:
Artinya : �Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk�.
c. Dasar Sosial Psychologis
Semua manusia di dalam hidupnya selalu membutuhkan adanya pegangan hidup yang disebut agama, yakni adanya perasaan yang mengakui adanya dzat yang maha kuasa, tempat mereka berlindung dan memohon pertolongan. Oleh karenanya manusia berusaha untuk mendekatkan dir pada Tuhan dalam rangka mengabdi pada-Nya. Dalam hal ini umat muslim membutuhkan pendidikan agama Islam agar dapat mengarahkan fitrahnya kepada jalan yang benar, sehingga mereka dapat mengabdi dan beribadah secara benar menurut ajaran Islam.
4. Pendidikan Sebagai Suatu Subsistem Dalam Pendidikan Nasional
Pelaksanaan pendidikan Islam dalam arti luas di bumi Pancasila ini mempunyai latar belakang sejarah dan kebudayaan bangsa yang tiang pertamanya dipancangkan pada abad ke-8 Masehi. Sampai saat ini pendidikan Islam telah berkembang dalam kurun waktu 12 abad lamanya di Indonesia. Pendidikan secara kultural pada umumnya berada dalam lingkup peran, fungsi dan tujuan yang tidak jauh berbeda, yakni berusaha mengangkat dan menegakan martabat manusia melalui transmisi yang dimilikinya, terutama dalam bentuk transfer of knowledge dan transfer of Values. Hal ini juga merupakan jangkauan dalam pendidikan Islam yang merupakan bagian dari system pendidikan nasional, sekalipun dalam pelaksanananya terdapat diskriminasi secara structural, seperti keberadaannya dibawah departemen agama untuk lembaga pendidikan agama atau madrasah dan sejenisnya, sedangkan pendidikan umum berada dalam departemen pendidikan nasional.
Dengan demikian, keberadaan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 2 tahun 1989, merupakan wadah formal supaya terintegrasinya pendidikan Islam dalam system pendidikan nasioanl dan dengan wadah tersebut, pendidikan Islam mendapat peluang serta kesempatan untuk terus dikembangkan. Peluang dan kesempatan untuk berkembang dapat dilihat dalam undang-undang tersebut. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Dalam pasal 1 ayat 2 dijelaskan bahwa pendidikan nasional, adalah pendidikan yang berakar oada kebudayaan bangsa Indonesia dan berdasarkan pada Pancasila dan UUD 1945 tidak bias dipungkiri bahwa pendidikan Islam, baik sebagai system maupun institusinya merupakan wadah budaya bangsa yang berakar pada masyarakat Indonesia. Oleh karena jelas pendidikan Islam merupakan bagian integral dari system pendidikan nasional.
2. Pada pasal 4 diungkapkan tentang tujuan pendidikan nasional, yakni untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Oleh karenanya perkembangan pendidikan Islam akan mempunyai peran yang menentukan dalam keberhasilan pencapaian tujuan pendidikan nasional.
3. Pada pasal 10, bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga dan yang memberikan keyakinan agama, nilai budaya, moral, dan keterampilan. Seperti dipahami dalam ajaran Islam bahwa keluarga merupakan lembaga pendidikan pertama dan utama atau sebagai basis dan dengan masuknya lembaga pendidikan keluarga, menjadi bagian dasar system pendidikan nasional maka pendidikan keluarga muslim pun menjadi bagian yang tak terpisahkan dari system pendidikan nasional..
4. Pada pasal 11 ayat 1 disebutkan bahwa jelas pendidikan yang termasuk jalur pendidikan sekolah, terdiri atas pendidikan umum, pendidikan kejuruan, pendidikan luar biasa, pendidikan kedinasan, pendidikan keagamaan, pendidikan akademik, dan pendidikan professional. Selanjutnya pada ayat 6 dijelaskan yang dimaksud dengan pendidikan keagamaan, adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan khusus tentang ajaran agama yang bersangkutan. Sebagaimana diketahui bahwa pengetahun tentang ajaran Islam, terutama yang berhubungan dengan nili-nilai keagamaan, moral, social budaya. Untuk itu pendidikan Islam dan lembaga-lembaganya tidak bias dipisahkan dari system pendidikan nasional.
5. Pada Pasal 39 ayat 2 dinyatakan, isi kurikulm setiap jenis dan jalur serta jenjang pendidikan, wajib memuat pendidikan Pancasila, pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Hal ini menandakan pendidikan Islam merupakan bagian dasar dan inti kurikulum nasional.
6. Pada Pasal 47 ayat 2 dinyatakan, bahwa cirri khas suatu pendidikan yang diselenggarkan oleh masyarakat tetap diindahkan. Artinya satuan-satuan pendidikan Islam baik yang berada pada jalur sekolah maupun pada jalur luar sekolah, akan tetapi tumbuh dan berkembang secara terarah dan terpadu dalam system pendidikan nasional. Berkaitan dengan hal itu dalam hal ini dalam peraturan pemerintah No. 28 tahun 1990 tentang pendidikan dasar pasal 1 disebutkan pendidikan dasar adalah pendidikan umum yang lamanya 9 tahun, diselenggarakan selama 6 tahun di sekolah dasar (SD) dan tiga tahun di SMP atau pendidikan yang sederajat. Selanjutnya pasal 3 ayat 3 disebutkan SD dan SLTP yang berciri khas agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama masing-masing disebut Madarasah Ibtidaiyah (MI), dan Madrasah Tsanawiyah (MTs). Dengan demikian madrasah diakui sama dengan sekolah umum dan merupakan suatu pendidikan yang terintegrasi dalam system pendidikan nasional.
Dengan uraian yang berlandaskan pasal UU SPN No.2 tahun 1989 maka terlihat jelas posisi pendidikan agama Islam dalam system pendidikan nasioanl, dimana pendidikan Islam merupakan senyawa dalam proses pendidikan yang dilaksanakan. Hal ini terbukti pula bahwa pendidikan agama yang merupakan mata pelajaran wajib yang diajarkan di sekolah-sekolah, di samping posisi yang tepat dan strategis tersebut pendidikan Islam telah memperlihatkan eksistensinya dalam membantu keberhasilan pendidikan nasional, yakni untuk mencerdaskan bangsa dan menanamkan nilai ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Posting Komentar untuk "KEDUDUKAN PENDIDIKAN ISLAM DALAM SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL"